Pertama : Ketentuan
Pembiayaan:
- Pembiayaan
Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain
untuk suatu usaha yang produktif.
- Dalam
pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 %
kebutuhan suatu proyek (usaha),
sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
- Jangka
waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
- Mudharib
boleh melakukan berbagai macam
usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS
tidak ikut serta dalam managemen
perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan.
- Jumlah
dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk
tunai dan bukan piutang.
- LKS
sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali
jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai,
atau menyalahi perjanjian.
- Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan
mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan
dari mudharib atau pihak ketiga.
Jaminan ini hanya dapat dicairkan
apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap
hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad.
- Kriteria
pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur
oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
- Biaya
operasional dibebankan kepada mudharib.
- Dalam
hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap
kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua
: Rukun dan Syarat Pembiayaan:
- Penyedia
dana (sahibul maal) dan pengelola
(mudharib) harus cakap hukum.
- Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus
secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran
dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis,
melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
- Modal
ialah sejumlah uang dan/atau aset
yang diberikan oleh penyedia dana
kepada mudharib untuk tujuan usaha
dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau
barang yang dinilai. Jika modal
diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk
piutang dan harus dibayarkan kepada
mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan
dalam akad.
- Keuntungan
mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak
boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak
harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam
bentuk prosentasi (nisbah) dari
keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua
kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali
diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
- Kegiatan
usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak
eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak
untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh
mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi
hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan
harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga : Beberapa
Ketentuan Hukum Pembiayaan:
- Mudharabah
boleh dibatasi pada periode tertentu.
- Kontrak
tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang
belum tentu terjadi.
- Pada
dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad
ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
- Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
Ketentuan hokum dalam FATWA DSN MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH ini adalah sebagai berikut :
Beberapa Ketentuan:
- Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus
secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran
dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis,
melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
- Pihak-pihak
yang berkontrak harus cakap hukum,
dan memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan
dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk
mengatur aset musyarakah dalam proses
bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang
kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah
diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan
untuk mencairkan atau menginvestasikan
dana untuk kepentingannya sendiri.
- Obyek
akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1) Modal yang diberikan harus uang
tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.
Modal
dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para
mitra.
2) Para pihak tidak boleh meminjam,
meminjamkan, menyumbangkan atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar
kesepakatan.
3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta
jaminan.
b. Kerja
1) Partisipasi para mitra dalam
pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan
syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya,
dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi
dirinya.
2) Setiap mitra melaksanakan kerja
dalam musyarakah atas nama pribadi dan
wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
1) Keuntungan harus dikuantifikasi
dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan mitra harus
dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang
ditetapkan bagi seorang mitra.
3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau
prosentase itu diberikan
kepadanya.
4) Sistem pembagian keuntungan harus
tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham
masing-masing dalam modal.
- Biaya
Operasional dan Persengketaan.
a. Biaya operasional dibebankan pada
modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ketentuan
hokum dalam FATWA DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN IJARAH ini
adalah sebagai berikut :
Pertama : Rukun
dan Syarat Ijarah:
1. Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara
verbal atau dalam
bentuk lain.
2. Pihak-pihak yang berakad: terdiri
atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa.
3. Obyek akad ijarah adalah :
a. manfaat barang dan sewa; atau
b. manfaat jasa dan upah.
Kedua : Ketentuan Obyek Ijarah:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari
penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang atau
jasa harus bisa dinilai dan dapat
dilaksanakan dalam kontrak.
3. Manfaat barang atau
jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4. Kesanggupan memenuhi manfaat
harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian
rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus
dinyatakan dengan jelas, termasuk
jangka waktunya. Bisa juga dikenali
dengan spesifikasi atau identifikasi
fisik.
7. Sewa atau upah
adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran
manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan
harga dalam jual beli dapat pula
dijadikan sewa atau upah dalam
Ijarah.
8. Pembayaran sewa atau upah
boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari
jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam
menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam
ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga : Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang yang disewakan
atau jasa yang diberikan
b. Menanggung biaya pemeliharaan
barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada
barang yang disewakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang
atau jasa:
a. Membayar sewa atau upah
dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya
sesuai kontrak.
b. Menanggung biaya pemeliharaan
barang yang sifatnya ringan (tidak
materiil)
c. Jika barang yang disewa
rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang
dibolehkan, juga bukan karena kelalaian
pihak penerima manfaat dalam menjaganya,
ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat :
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Sumber : MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Sumber : MUI (Majelis Ulama Indonesia)
penjelasan yang sangat bermanfaat kaka, lumayan buat memperbanyak referensi.. terima kasih kaka... ^^
BalasHapusoh iya sudah saya follo mba urutan 22, jangan lupa follback ya.. terima kasih.. :)
BalasHapus