KERUGIAAN NEGARA KARENA MASIH BANYAK PERUSAHAAN YANG TIDAK MEMBAYAR PAJAK
Di negara kita banyak sekali perusahaan yang didirikan dengan sukses apalagi perusahaan yang menggunakan nama yang sudah terkenal. Tapi bukan bagaimana perusahaan itu bisa berjalan dengan baik dan sukses. Tapi sebagai warga Indonesia yang baik dan mentaati peraturan yang telah berlaku kita wajib membayar pajak.
Akhir - akhir ini kita mendengar bahwa ada beberapa perusahaan yang tidak membayar pajak. Dalam benak Saya “kenapa sebuah perusahaan yang didirikan di negara kita bisa tidak membayar pajak?”
Saat ini mungkin beberapa bulan yang lalu, tiga perusahaan yang bernaung dalam Grup Bakrie sedang di sorot oleh berbagai pihak, ini karena diprediksi harus membayar sejumlah tunggakan pajak sebesar 400 persen dengan potensi beban pokok yang harus dikenakan mencapai 500 persen, jika dugaan tunggakan pajak senilai Rp2,1 triliun terbukti benar.
Aburizal Bakrie menilai tuduhan tunggakan pajak pada beberapa anak perusahannya tidak lagi murni masalah fiskal. Permasalahan tersebut telah dibumbui kepentingan politik.
"Saya lihat ini sudah dipolitisir," ujarnya saat ditemui di Gedung Lemhanas usai Diklat HIPMI, Jakarta, (INILAH. COM,Kamis (12/2).
Ia mengatakan, meski nama perusahaannya memakai nama keluarga, perusahaan-perusahaan milik keluarganya sudah menjadi perusahaan publik yang neraca keuangannya telah diaudit oleh akuntan publik. "Kalau ada perbedaan(perhitungan pajak) adalah hal yang wajar," jelasnya.
Menurut Aburizal, perbedaan perhitungan antara Dirjen Pajak dan Perusahaan adalah hal yang wajar dan bisa menimpa pada perusahaan mana pun, yang akan menjadi korban adalah perusahaan kecil yang tidak mampu melakukan perlawanan,
"Itu bisa terjadi ke semua orang. Saya bisa melawan, yang lain belum tentu bisa melawan. Melawan dalam arti suatu opini yang dibentuk. Kalau perusahaan namanya ada di media kemudian dia harus membayar yang seharusnya tidak perlu akhirnya investasi dia cabut," sesalnya.
Ia mengatakan, permasalahan ini secara tidak langsung mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan milik Bakrie. Hal tersebut justru merugikan masyarakat sebagai pemilik saham mayoritas. "Sebagai perusahaan publik, masyarakatnya kasihan. Dalam kasus Bumi Resources, saham masyarakat sangat besar 82 persen. Keluarga Bakrie cuma kena tujuh persen," ucapnya.
Menurut Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk membawa kasus tunggakan pajak 3 perusahaan Bakrie ke ranah pidana sudah benar. Sebab, pelanggaran pajak 3 perusahaan tersebut masuk domain pelanggaran pidana.
Kodrat (Pengamat Perpajakkan saat ditemui oleh detik.com)mengatakan, kasus pajak 3 perusahaan Bakrie ini memang belum bisa dibuktikan. Karena itu Ditjen Pajak harus bisa membuktikan dan membawa ke Polisi sehingga bisa ditindak dengan segera.
Sebelumnya Dirjen Pajak M. Tjiptardjo mengatakan, dari 3 perusahaan batubara Bakrie yaitu PT Bumi Resources Tbk, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia, dua perusahaan sudah masuk penyidikan, sementara 1 perusahaan masih dalam bukti permulaan.
"Ke ranah pidana karena SPT-nya (Surat Pemberitahuan Pajak) tidak benar. Proses penyidikan tidak ada aturan berapa lama, saya mau cepat tapi tergantung instansi lain," tegasnya saat ditemui di Gedung PTIK, Jakarta, (Detikcom,Selasa 9/2/2010).
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak menerima gugatan pra peradilan yang diajukan PT Kaltim Prima Coal (KPC) terhadap Direktorat Jenderal Pajak. KPC menyiapkan langkah hukum selanjutnya guna meluruskan masalah sengketa pajak senilai Rp 1,5 triliun tersebut.
Penyidikan terhadap anak usaha Kelompok Bakrie pada sektor pertambangan batubara ini pertama kali diungkap Direktur Jenderal Pajak, Mochamad Tjiptardjo, pada Desember tahun lalu.
Mengenai angka kerugian negara yang diakibatkan tunggakan pajak ketiga perusahaan Bakrie ini, Tjiptardjo menyatakan masih dalam penyidikan karena angkanya terus bergerak.
"Kerugian negara domainnya masih di penyidik dan terus bergerak," jelasnya.
KPC sebelumnya mengajukan gugatan praperadilan berdasarkan tiga alasan. Pertama, pada saat melakukan pemeriksaan bukti permulaan, Ditjen Pajak tidak pernah menghentikan terlebih dahulu proses pemeriksaan awal yang dilakukan karena adanya lebih bayar atas status pajak terutang perusahaan 2007.
Kedua, KPC menganggap penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan dilandaskan pada dasar hukum yang salah yakni Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Padahal untuk kasus tahun pajak 2007, dasar hukum yang seharusnya digunakan adalah Undang-Undang KUP lama yakni Undang-Undang nomor 16 tahun 2000.
Dan ketiga, masih terkait sidang di Pengadilan Pajak tersebut, KPC menganggap surat perintah penyidikan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak pada 30 Maret 2009 merupakan tindakan yang melampaui kewenangan dan melawan hukum. Pasalnya, surat perintah itu dikeluarkan pada saat proses permohonan di Pengadilan Pajak atas Surat Perintah Pemeriksaan Buper sedang berlangsung.
SUMBER :
• Detik.com
• Kompas.com
• Inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar