Kamis, 10 Mei 2012

Fatwa DSN MUI Tentang Pembiayaan Mudharabah, Ijarah, dan Musyarakah

Ketentuan hokum dalam FATWA DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH) ini adalah sebagai berikut :

Pertama          :           Ketentuan Pembiayaan:
  1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
  2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek  (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau  pengelola usaha.
  3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah  pihak (LKS dengan pengusaha).
  4. Mudharib boleh  melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam  managemen perusahaan atau  proyek tetapi  mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
  5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam  bentuk  tunai dan bukan piutang.
  6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau  menyalahi perjanjian.
  7. Pada prinsipnya, dalam  pembiayaan mudharabah tidak ada  jaminan,  namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan  dari mudharib atau pihak ketiga.  Jaminan ini hanya dapat dicairkan  apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal  yang telah disepakati bersama dalam  akad.
  8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
  9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
  10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau  melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau  biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua             :           Rukun dan Syarat Pembiayaan:
  1. Penyedia dana (sahibul  maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
  2. Pernyataan ijab dan qabul  harus dinyatakan oleh para  pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam  mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal  berikut:
a.  Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan  kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan  pada saat kontrak.
c.  Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
  1. Modal ialah sejumlah uang  dan/atau aset yang diberikan  oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan  usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.       Modal harus diketahui  jumlah dan jenisnya.
b.   Modal dapat berbentuk uang  atau  barang yang dinilai. Jika modal  diberikan  dalam  bentuk aset, maka  aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.    Modal tidak dapat berbentuk piutang  dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam  akad.
  1. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.       Harus  diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh  disyaratkan hanya untuk satu  pihak.
b.   Bagian  keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui  dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam  bentuk  prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.  Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh  menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau  pelanggaran kesepakatan.
  1. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal  yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal  berikut:
a.   Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.  Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.     Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga             :           Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
  1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
  2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
  3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
  4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ketentuan hokum dalam FATWA DSN MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN MUSYARAKAH ini adalah sebagai berikut :

Beberapa Ketentuan:
  1. Pernyataan ijab dan qabul  harus dinyatakan oleh para  pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam  mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal  berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan  kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan  pada saat kontrak.
c.  Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau  dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

  1. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum,  dan memperhatikan hal-hal  berikut:
a.       Kompeten dalam  memberikan atau  diberikan  kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.     Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam  proses bisnis normal.
d.    Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau  menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

  1. Obyek akad  (modal,  kerja, keuntungan dan kerugian)
a.       Modal
1)  Modal yang diberikan  harus uang  tunai, emas, perak  atau  yang nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti,  dan sebagainya. Jika modal  berbentuk aset, harus terlebih dahulu  dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau  menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3)      Pada prinsipnya, dalam  pembiayaan musyarakah tidak ada  jaminan,  namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b.      Kerja
1) Partisipasi para  mitra dalam  pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi,  kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh  melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya,  dan dalam  hal ini ia boleh  menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2)   Setiap mitra melaksanakan kerja dalam  musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam  organisasi kerja harus dijelaskan dalam  kontrak.
c.       Keuntungan
1)   Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi  keuntungan atau  penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada  jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3)  Seorang mitra boleh  mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau  prosentase itu diberikan  kepadanya.
4)      Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam  akad.
d.      Kerugian
Kerugian  harus dibagi di antara para  mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam  modal.
  1. Biaya Operasional dan Persengketaan.
a.       Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b.     Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketentuan hokum dalam FATWA DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN IJARAH ini adalah sebagai berikut :

Pertama          :           Rukun dan Syarat Ijarah:

1.    Sighat  Ijarah, yaitu ijab dan qabul  berupa pernyataan dari kedua belah  pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal  atau  dalam  bentuk  lain.
2. Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa  dan penyewa/pengguna jasa.
3.      Obyek akad  ijarah adalah :
a.       manfaat barang dan sewa; atau
b.      manfaat jasa  dan upah.

Kedua                         :           Ketentuan Obyek Ijarah:

1.      Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.      Manfaat  barang atau  jasa  harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam  kontrak.
3.      Manfaat  barang atau  jasa  harus yang bersifat  dibolehkan (tidak diharamkan).
4.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata  dan sesuai dengan syari’ah.
5.    Manfaat  harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan  mengakibatkan sengketa.
6.    Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas,  termasuk jangka  waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau  identifikasi fisik.
7.  Sewa atau  upah  adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar  nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan  harga dalam  jual beli dapat pula dijadikan  sewa atau  upah  dalam  Ijarah.
8.   Pembayaran sewa atau upah boleh  berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9.   Kelenturan (flexibility) dalam  menentukan sewa atau  upah  dapat diwujudkan  dalam  ukuran waktu, tempat dan jarak.

Ketiga            :           Kewajiban  LKS dan Nasabah dalam  Pembiayaan Ijarah

1.      Kewajiban  LKS sebagai pemberi manfaat barang atau  jasa:
a.       Menyediakan barang yang disewakan atau  jasa  yang diberikan
b.      Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c.       Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2.      Kewajiban  nasabah sebagai penerima manfaat barang atau  jasa:
a.   Membayar sewa atau  upah  dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya  ringan (tidak materiil)
c.       Jika barang yang disewa rusak,  bukan  karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan  karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam  menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Keempat    :   

Jika salah satu  pihak tidak menunaikan kewajibannya atau  jika terjadi perselisihan di antara para  pihak, maka  penyelesaiannya dilakukan  melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Sumber : MUI (Majelis Ulama Indonesia)

2 komentar:

  1. penjelasan yang sangat bermanfaat kaka, lumayan buat memperbanyak referensi.. terima kasih kaka... ^^

    BalasHapus
  2. oh iya sudah saya follo mba urutan 22, jangan lupa follback ya.. terima kasih.. :)

    BalasHapus