Kamis, 10 Mei 2012

Fatwa DNS MUI Tentang Murabahah, Salam dan Istishna

Ketentuan hukum  dalam  FATWA DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH ini adalah sebagai berikut :

Pertama            :           Ketentuan Umum Murabahah dalam  Bank Syari’ah:
  1. Bank dan nasabah harus melakukan akad  murabahah yang bebas riba
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah  Islam.
  3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  4. Bank membeli  barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri,  dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
  6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka  waktu tertentu yang telah disepakati.
  8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau  kerusakan akad  tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
  9. Jika bank hendak mewakilkan  kepada nasabah untuk membeli  barang dari pihak ketiga, akad  jual beli murabahah harus dilakukan  setelah barang, secara prinsip, menjadi  milik bank.
Kedua :           Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
  1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau  aset kepada bank.
  2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli  terlebih dahulu  aset yang dipesannya secara sah  dengan pedagang.
  3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum  janji ter sebut mengikat; kemudian kedua belah  pihak harus membuat kontrak jual beli.
  4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah  untuk membayar uang  muka  saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
  5. Jika nasabah kemudian menolak membeli  barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang  muka  tersebut.
  6. Jika nilai uang  muka  kurang  dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank,  bank dapat meminta kembali  sisa  kerugiannya kepada nasabah
  7. Jika uang  muka  memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang  muka,  maka
a.       jika nasabah memutuskan untuk membeli  barang tersebut, ia tinggal membayar sisa  harga.
b.      jika nasabah batal membeli,  uang  muka  menjadi  milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang  muka  tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga :           Jaminan dalam  Murabahah:
  1. Jaminan dalam  murabahah dibolehkan, agar  nasabah serius dengan pesanannya.
  2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat          :           Utang dalam  Murabahah:
  1. Secara prinsip, penyelesaian utang  nasabah dalam  transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan  nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual  kembali  barang tersebut dengan keuntungan atau  kerugian, ia tetap  berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
  2. Jika nasabah menjual  barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir,  ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima             : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
  1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya
  2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam           : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No.05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang JUAL BELI SALAM ini adalah sebagai berikut :

Pertama                   :    Ketentuan tentang Pembayaran:
1.     Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau  manfaat.
2.    Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3.    Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua                      :    Ketentuan tentang Barang:
1.    Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2.    Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.    Penyerahannya dilakukan kemudian.
4.    Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.    Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.    Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

Ketiga                      :    Ketentuan tentang Salam Paralel:
Dibolehkan  melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.

Keempat                  :    Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah  disepakati.
2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.   
3.  Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4.   Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat      kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5.  Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
      a.    membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
      b.    menunggu sampai barang tersedia.

Kelima                     :    Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.

Keenam                   :    Perselisihan:
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang JUAL BELI ISTISHNA' ini adalah sebagai berikut :

Pertama       :    Ketentuan tentang Pembayaran:
1.    Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.    Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3.    Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Kedua         :    Ketentuan tentang Barang:
1.    Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2.    Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.    Penyerahannya dilakukan kemudian.
4.    Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.    Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.    Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7.    Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Ketiga         :     Ketentuan Lain:
1.    Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2.   Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
3.   Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Sumber : MUI (Majelis Ulama Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar